Monday, June 6, 2011

MAKALAH SEMINAR GERAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL) DALAM MATEMATIKA


MAKALAH  SEMINAR





GERAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL) DALAM MATEMATIKA



 













HENNY SILVIA PURWANTI

64320 / 2005

PENDIDIKAN MATEMATIKA



DOSEN PEMBIMBING:

Drs. H. YARMAN, M. Pd






FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2008

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI   ……………………………………………………………    2
BAB I              PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………………………    3 Tujuan                       ……………………………………………………    6
BAB II             PEMBAHASAN
a.       Pembelajaran Matematika...................... …………………….......       7
b.      Pengertian Pembelajaran Kontekstual (CTL)     ……………………    7
c.       Prinsip-prinsip Pembelajaran Kontekstual (CTL)           ……………    8
BAB III            PENUTUP
Kesimpulan      …………………………………………………..      13 Saran            ……………………………………………………………    14
DAFTAR PUSTAKA  ……………………………………………………    15








BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Matematika merupakan salah satu ilmu yang mempunyai peranan penting dalam menunjang perkembangan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dapat terlihat dari tujuan pembelajaran matematika di sekolah yang tercantum dalam GBPP 1994 bahwa:
”Tujuan matematika dalam mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan efektif.”
Matematika diberikan kepada siswa sebagai modal bagi siswa untuk menghadapi perkembangan zaman, pegangan hidup, pedoman dan melatih siswa berpikir logis dan kritis. Melalui pembelajaran matematika siswa dilatih untuk dapat bertindak lebih tepat. Namun kemanakah arah pembelajaran matematika di sekolah kita sekarang ini?. Sudahkah siswa bertindak lebih tepat?. Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang berkaitan dengan isu sentral yang sering mewarnai pembelajaran matematika seperti seputar rendahnya kualitas hasil belajar matematika.. Penafsiran tentang kualitas ini ada yang melihatnya dari produk yang diperoleh suatu lulusan berupa kemampuan intelektual matematika dan ada pula yang menafsirkannya sebagai suatu kesalahan berantai yang tidak hanya melihat dari hasilnya saja, tetapi meliputi juga prosesnya.
Apabila diamati, kesalahan seputar rendahnya nilai mata pelajaran matematika dipengaruhi juga sikap masyarakat (khususnya orang tua) anak itu sendiri. Mereka  memandang secara sempit assessment pembelajaran matematika, yaitu jika rangking anaknya rendah maka resahlah orang tua atau jika nilai raport anaknya rendah maka langsung menuding anaknya bodoh.
Isu lainnya yang juga tampak mengemukan adalah seputar kapasitas materi yang disampaikan, yaitu hingga saat ini belum banyak guru (secara perorangan) atau suatu sekolah manyampaikan materi/ soal-soal yang rutin maupun non rutin yang melatih siswa menjawab how? dan why?  atau tidak merangsang siswa berpikir kreatif, inovatif, dan alternatif. Akibatnya, masih sedikit ditemukan guru maupun sekolah yang memperhatikan kaidah percepatan belajar siswa (learning acceleration), yaitu melayani pengayaan pembelajaran pada anak unggul dan berbakat (gifted and talented) dan memperhatikan perbaikan belajar (remedial) pada anak yang rendah (lower).
Selain itu, dari hasil penelitian akhir-akhir ini berkembang pula isu seputar rendahnya kompetensi matematika guru dan calon guru. Hal ini menjadi penting mengingat faktor keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh strategi pembelajaran, sistem penilaian, interaksi di kelas, dan faktor guru. Itulah sekelumit problematika pembelajaran matematika di sekolah saat ini.
Upaya mengatasi berbagai isu pembelajaran matematika senantiasa dilakukan para pemerhati dan pengguna matematika. Pembaharuan dilakukan sebagai upaya keikutsertaan matematika dalam membentuk manusia berkualitas, yaitu tidak hanya membekali peserta didik dengan keterampilan menggunakan matematika, tetapi juga menumbuhkan kemampuan yang transferable untuk memiliki daya pikir kritis, dalam hal ini kemampuan yang berupa :
1.      untuk tingkat dasar, kemampuan dasar (reading literacy), pengetahuan bilangan (numeracy), dan pemecahan masalah sederahana.
2.      untuk tingkat menengah, menerapkan matematika di berbagai bidang (contextual mathematics) dan kemampuan memecahkan masalah sehari-hari.
Upaya perbaikan juga dilakukan dengan lebih mempertimbangkan berbagai pandangan/ filsafat pembelajaran yang mutakhir. Hal ini dapat dilihat seperti bergesernya pandangan belajar dari teacher centre ke student centre atau lebih memfokuskan pada pandangan perkembangan mental (development mental) yang mengutamakan proses dengan tidak mengesampingkan pandangan tingkah laku (behavioristik) yang mengutamakan produk.
Para penentu kebijakan juga turut andil menyumbangkan pikirannya tentang inovasi mathematics learning yang biasanya mempertimbangkan aspek politik pemerintah guna pemenangan persaingan teknologi/ sosial antarnegara yang makin global. Singkatnya, optimalisasi pembaharuan pembelajaran matematika seperti diuraikan di atas dilakukan bebagai pihak dalam bentuk:
  • perbaikan strategi belajar mengajar oleh guru;
  • inovasi model belajar melalui studi dan riset kalangan perguruan tinggi; dan
  • penyempurnaan assessment proses/produk belajar matematika.
Pada akhirnya, semua pembaharuan tersebut akan bermuara pada penyempurnaan kurikulum oleh penentu kebijakan.
Usaha mensikapi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya inovasi-inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning re-construction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian. Trend model pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) di Amerika. Misalnya dalam wujud NCTM Standard for Curriculum and Evaluation, NCTM Standard for Instruction, dan NCTM Standard for Assessment. Bentuk konstruksi pemahaman matematika yang saat ini dikembangkan bahkan cenderung menjadi sebuah “gerakan” studi model pembelajaran matematika di antaranya: constructivism, problem solving, problem posing, realistic mathematics education, open-ended approach, communication in mathematics, methacognitif model, cooperative learning, dan reinvention in mathematic.
Saat ini, inovasi pembelajaran matematika sebagai kata kunci untuk mengatasi problematika pembelajaran matematika di sekolah menengah diwujudkan  dalam bentuk “gerakan pemerataan” teknik/ model/ strategi/ pendekatan pembelajaran matematika yang (katanya) mengakar pada kebutuhan dan kebiasaan realistik siswa di lingkungan hidupnya sehari-hari. Gerakan ini diberi nama pembelajaran matematika kontekstual (CTL- Contextual Teaching and Learning - diadopsi dari aslinya contextual mathematics).
Masalahnya sekarang, tidaklah semudah membalikan tangan mengubah kepercayaan guru dan siswa yang terbiasa melakukan pembelajaran matematika cara sebelumnya untuk mau berubah ke cara yang baru ini. Apalagi bila setelah dirasakan dan dilaksanakan ternyata terlalu banyak membebani beban kerja guru yang tidak seimbang dengan penghargaan kerja yang mereka dapatkan. Karena itu, perlunya  menganalisis model ini menurut cara pandang pengalaman mengajar guru. Makalah ini diberi judul “Gerakan Pendekatan kontekstual (CTL) dalam Matematika.”

B. Tujuan

Adapun tujuan dari  pembuatan makalah ini memberikan salah satu gerakan yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan yang ada di sekolah terutama dalam matematika. Disamping memiliki kelebihan  gerakan ini juga memiliki kekurangan.
Dari kelebihan dan kekurangan inilah, guru diharapkan dapat menggunakan gerakan baru sesuai dengan situasi dan kondisi siswa. Dalam proses belajar mengajar guru maupun siswa diharapkan dapat mengaitkan materi pelajaran dengan dunia nyata siswa itu sendiri.







BAB II
PEMBAHASAN
a.      Pembelajaran Matematika
Matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran. Matematika juga digunakan sebagai alat komunikasi dan menyajikan informasi. Mengingat kegunaan matematika maka semua orang perlu menguasai matematika untuk memecahkan masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya matematika digunakan untuk menghitung isi dan berat, untuk menentukan harga barang, mengolah, menyajikan, dan menafsirkan data. Sejalan dengan pendapat . Hudojo (1988: 4) yang menyatakan bahwa:
”Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik; matematika adalah ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah-masalah yang berhubungan dengan bilangan”.

Dengan demikian matematika menekankan aktivitas dalam rasio (penalaran). Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Karena dekatnya masalah matematika itu dengan kehidupan sehari-hari maka guru maupun siswa  diharapkan mampu menghubungkan permasalahan tersebut dengan dunia nyata .

b.     Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Definisi pembelajaran yang pernah ditulis dalam suatu sumber menyatakan sebagai berikut:
“CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya dan budayanya”.Johnson (2002:25)
Menurut para penulis NWREL (Johnson, 202:38) ada tujuh atribut yang mencirikan konsep CTL yaitu : kebermaknaan, penerapan ilmu, berpikir tingkat tinggi, kurikulum yang digunakan harus standar, berfokus pada budaya, keterlibatan siswa secara aktif, dan assesmen autentik.
Proyek yang dilakukan oleh Center on Educatian and Work at the University of Wisconsin-Madison, yang disebut TEACHNET mengeluarkan pernyataan penting tentang CTL, pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. (Johnson,2002:38-39)
Selanjutnya menurut Zahorik dalam depdiknas (2003: 7) pembelajaran kontekstual terdiri dari beberapa elemen yakni:
    1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada
    2. Pemerolehan pengetahuan baru
    3. Pemahaman pengetahuan
    4. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman
    5. Melakukan refleksi
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual khususnya matematika dapat membantu siswa untuk meningkatkan daya pikir siswa yang kreatif, kritis dan inovatif.

  1. Prinsip Pembelajaran Kontekstual

Ada tujuh prinsip CTL, yang merupakan jantungnya CTL, yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian yang autentik. Jika hanya satu prinsip yang dilaksanakan berarti belum dapat dikataka dengan pendekatan kontekstual.

1.      Konstruktivisme
Dalam pandangan ini, strategi yang diperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Karena itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan pada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Sungguh sempurna bagi sebuah model pembelajaran yang mengedepankan siswa sebagai pusat belajar. Tetapi, akankah ini terus dipakai dan diterapkan manakala guru harus menyampaikan pokok bahasan yang one way direction dan mengharuskan menyelesaikan materi dalam waktu cepat. Misalnya, sebuah ilustrasi soal sebagai berikut. Bagaimanakah menanamkan sebuah pengertian yang konstruktif tentang -2 – (-4) ? Haruskah membiarkan siswa bekerja dan menemukan pengertiannya melalui pemodelan garis bilangan (sebagaimana lazimnya dikembangkan selama ini), ataukah pemodelan yang lainnya?.
Hal ini sungguh membebani bahkan membuat repot siswa dalam bekerja. Tidakkah cukup ditanamkan konsep kurang sebagai invers dari tambah untuk kasus itu? Sederhana, bukan? Jadi, konstruktivisme bukanlah satu-satunya.

2.      Menemukan
Dalam pengertian menemukan sebagai inquiri, prinsip ini mempunyai seperangkat siklus, yaitu: observasi, bertanya, mengajukan, dugaan, mengumpulkan data, dan menyimpulkan. Sebagai sebuah model pembelajaran, prinsip inkuiri sangat tepat bagi penanaman konsep yang membutuhkan kerja eksplorasi dalam bentuk induktif seperti materi-materi IPA. Meski bisa pula diterapkan materi lain selain IPA seperti bahasa Indonesia bahkan matematika.
Kesulitan muncul tatkala dihadapkan pada penyampaian konsep beraroma deduktif. Misalnya, menanamkan konsep-konsep geometri. Alhasil, prinsip ini tidaklah secara kaku dan wajib diterapkan kepada setiap pokok bahasan matematika.

3.      Bertanya
Dalam bentuk formalnya sebagai salah satu kegiatan dalam mengawali, menguatkan, dan menyimpulkan sebuah konsep. Bentuknya bisa dilakukan guru langsung kepada siswa atau justru memancing siswa untuk bertanya kepada guru, kepada siswa lain atau kepada orang lain secara khusus. Tak dapat dipungkiri lagi, kegiatan ini sangatlah menunjang setiap aktivitas belajar. Bukankah pengetahuan yang dimiliki seseorang biasanya berawal dari ”bertanya”. Masalahnya, benarkah bila ini diklaim sebagai ciri aktivitas belajar yang hanya dimiliki oleh CTL? Tentu tidak sepakat bukan?

4.      Masyarakat Belajar
Konsep masyarakat belajar (learning community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah, yaitu guru terhadap siswa dan sebaliknya, siswa dengan siswa.
Berbagai penelitian memang telah banyak menguji keberhasilan bentuk sharing pengetahuan ini, khususnya pembelajaran teman sebaya. Ketidakoptimalan hasil belajar yang diharapkan dari pemberian perlakuan suatu teknik atau strategi yang baru berakar pada permasalahan yang klasik dan senantiasa menghantui pembelajaran matematika selama ini, yaitu pada masalah kurangnya penguasaan konsep dasar. Singkatnya, komunikasi dalam masyarakat belajar matematika dapat optimal bila komunikan dan komunikator memiliki penguasaan konsep dasar.

5.      Pemodelan
Tampaknya, prinsip inilah yang menjadi primadona CTL dibandingkan dengan beberapa model pembelajaran lainnya. Pemodelan menurut versi CTL, guru bukan satu-satunya model, melainkan harus memfasiliitasi suatu model tentang “bagaimana cara belajar” baik dilakukan oleh siswa maupun oleh guru sendiri.
Kesulitan yang sering muncul adalah merancang sebuah modeling tentang suatu konsep. Apalagi bila tuntutannya sempit, yaitu pemodelan yang terkait dengan konteks lingkungan siswa, bukan terkait dengan konteks apa yang sudah tertanam dalam diri siswa. Sebuah contoh klasik di kalangan para pengembang CTL untuk tingkat SLTP di antaranya kesulitan membuat pemodelan untuk konsep logaritma. Jadi, kesimpulannya, sungguh naïf bila dengan serta merta para pengembang CTL mengharuskan (mendoktrin) para guru untuk selalu menerapkan CTL sebagai satu-satunya model pembelajaran yang paling kapabel. Tidakah bahkan menjadi beban yang lain bagi para guru?

6.      Refleksi
Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari dan dilakukan setiap peserta belajar. Guru mengkoreksi dirinya, siswa dikoreksi oleh gurunya. Nilai hakiki dari prinsip ini adalah semangat introspeksi untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran berikutnya. Inilah satu-satunya model belajar yang mengembangkan kegiatan berbau introspeksi. Masalahnya, diformalkan atau tidak diformalkan bahwa refleksi sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran. 

7.      Penilaian Autentik
Penilain jenis ini memandang bahwa kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan dari hasil saja, dan dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya. Itulah hakekat penilaian autentik. Apakah benar-benar efektif bahwa tes autentik sebagai perangkat tes yang dapat dikembangkan dalam matematika. Ini perlu kajian mendalam. Terlalu dini jika pembuat kebijakan mengharuskan guru menyusun format tes autentik untuk para siswanya tanpa didampingi oleh suatu ilustrasi (contoh) atau apa saja namanya tentang tes autentik. Perlu mendapat pertimbangan para pengembang CTL bahwa ada penelitian tentang portfolio sebagai salah satu bentuk tes autentik yang menyimpulkan bentuk tes ini tidak efektif dalam matematika di Indonesia.

Dilihat dari konsepnya yang paling menonjol, yaitu tujuh prinsip CTL, yang dipandang sebagai sebuah pendekatan yang brilian. Tentu saja demikian, karena tidak mungkin para pakar yang nota bene menjadi penentu kebijakan inovasi pembelajaran mengadopsi suatu model yang tidak bagus atau asal-asalan. Hebatnya lagi, bak lahirnya sebuah bayi jenius, maka kelahirannya begitu didengung-dengungkan, disebarluaskan sampai ke lapisan paling bawah, seolah-olah inilah bayi jenius yang dinanti-nantikan (padahal bukankah sudah pernah lahir bayi jenius sebelumnya, atau mungkin bersamaan lahir pula bayi jenius lain - hanya tidak seberuntung bayi ini).
Sebegitu hebatnya model pembelajaran ini tidak jarang didengar bahwa para penyampai model ini memandang rendah dan tidak berguna model pembelajaran lain yang pernah ada dan lahir terlebih dahulu. Seolah lupa bahwa mereka yang kini menyampaikan model baru itu terlahir dan dibesarkan oleh model yang lama. Hebatnya lagi, model ini disebarluaskan dengan di-back up oleh seperangakat kebijakan dan sejumlah proyek pengembangan pendidikan yang nota bene dilakukan perangkat pemerintah.











BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas didapatkan kesimpulan bahwa CTL matematika bukanlah satu-satunya jalan keluar yang harus segera disebarluaskan untuk diterapkan seutuhnya oleh setiap sekolah. Justru satu hal mendasar yang senantiasa muncul dan bahkan selalu mewarnai ketidakberesan hasil pembelajaran matematika, yaitu tentang lemahnya penguasaan konsep dasar matematika yang dimiliki siswa maupun guru. Asumsinya, mau bagaimanapun model belajarnya, siapapun yang menyampaikannya, dan di tempat bagaimanapun berlangsungnya pembelajaran, jika dalam diri setiap peserta belajar telah tertanam penguasaan konsep dasar yang memadai, maka target ketuntasan hasil belajar dapat diraih.
Jika demikian adanya, apakah tidak berlebihan dengan “gerakan” penggunaan CTL sebagai satu-satunya model yang harus diterapkan setiap sekolah di negeri ini. Tidakkah lebih bijaksana bila model ini dipandang sebagai satu alternatif pembelajaran yang bisa dipakai para guru di sekolah, sehingga segala kebaikan yang dimiliki model ini tidak segera luntur karena ternodai oleh misi proyek semata. Kalau begitu, “gerakan” pendekatan kontekstual matematika  bukan merupakan satu-satunya cara untuk mencapai suatu kemajuan. Jika hanya satu prinsip CTL yang dijalankan dalam pembelajaran matematika, itu belum dikatakan pembelajaran yang menggunakan CTL.




SARAN
1.      Dalam diri setiap peserta belajar haruslah tertanam penguasaan konsep dasar yang memadai.
2.      Baik guru maupun siswa sebaiknya dapat mengaitkan materi pelajaran dengan pengetahuan dan pengalaman sehari-hari siswa.
3.      Untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik tidak hanya satu cara yang mesti dilakukan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memajukan pendidikan di sekolah adalah pendekatan kontekstual.
4.      Dalam pembelajaran yang menggunakan gerakan CTL sebaiknya seluruh prinsipnya dapat dijalankan dengan sempurna.










DAFTAR PUSTAKA
Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Depdikbud : Jakarta.
Johnson, Alaine. 2006. Contextual Teaching and Learning. (Terjemahan). Jakarta:   MLC.
Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapan dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang Press.
Sudrajat. 2007. Gerakan Pendekatan Kontekstual dalam Matematika Sebuah Kemajuan atau Jalan di Tempat. http: // www.google/ dikdasmen/ com: Diakses 21 April 2008. Pukul 19.30.

No comments:

Post a Comment